Info Syiah

Ringan, Segar dan Mencerahkan

Ingin memiliki muhrim di tempat kerja? Ikuti fatwa ini!

Posted by infosyiah pada 0, Mei 20, 2007

Ingin memiliki muhrim di tempat kerja? Ikuti fatwa ini!

Seorang laki-laki setelah menyusu lima kali kepada seorang wanita rekan kerjanya, maka keduanya menjadi muhrim dan sah berdua di dalam sebuah ruangan.

Situs ASRIRAN memberitakan bahwa setelah dikeluarkannya fatwa tentang cara baru menjadi muhrim antara rekan kerja laki-laki dan perempuan di lingkungan perkantoran oleh ketua Bidang Hadis Universitas al-Azhar Mesir, parlemen Mesir menjadi ajang protes keras fraksi Ikhwanul Muslimin terhadap al-Azhar.

ASRIRAN menukil dari Alarabiya, DR. Izzat Athiyah, ketua badan hadis universitas al-Azhar Mesir, mengeluarkan fatwa: “Jika dua rekan kerja (laki-laki dan perempuan) bekerja dalam satu ruangan yang pintunya tidak bisa dibuka selain oleh keduanya, dan mereka ingin menjadi muhrim, maka perempuan itu bisa menyusui rekan kerja laki-lakinya sebanyak lima kali. Cara itu membuat mereka menjadi muhrim dan keberadaan mereka berdua di sebuah ruangan hukumnya sah”.

Berdasarkan fatwa ini, bila penyusuan ini dilakukan, maka perempuan itu boleh menampakkan wajah dan rambutnya kepada laki-laki yang menyusu kepadanya.

Tentunya, ketua Bidang Hadis ini juga menyatakan bahwa jenis muhrim semacam ini harus dilaksanakan secara resmi dan tertulis.

Atas dasar fatwa ini, mereka yang menjadi muhrim dengan cara ini, keduanya bisa kawin (menjadi suami istri). Namun, sebelum melakukan akad nikah secara sah, keduanya tidak boleh melakukan hubungan suami istri.

Menyusul dikeluarkannya fatwa ini fraksi Ikhwanul Muslimin di parlemen Mesir mencemaskan masalah ini, dan menghimbau al-Azhar untuk mengubah fatwanya.

Beberapa anggota majelis menyatakan bahwa fatwa al-Azhar penyebab meluasnya kejahatan dalam masyarakat dan mengumumkan bahwa fatwa semacam ini bertentangan dengan Ijma ulama Islam, dan harus dicabut kembali.[infosyiah]

44 Tanggapan to “Ingin memiliki muhrim di tempat kerja? Ikuti fatwa ini!”

  1. Aswaja said

    Sekedar mau nanya saja neh pak Ustad… kalau yang disusui itu tidak punya air susu gimana..?? apa ngak jadi mahram..??

  2. wan abdilah said

    wah enak dong kalo gitu , tapi mungkin bisa lebih diperjelas lg tentang syariatnya dari fatwa ini. mungkin ada yang lebih mengetahui ??? tolong informasinya yaa

  3. Geddoe said

    Kok lima kali, ya? Kalau dari fatwa keblinger lain yang saya baca, sepuluh kali 😆

    Sepuluh kali saja, biar aman… 😛

  4. dz. said

    ga ngerti *emang-telmi-nih*
    menyusu lima kali kepada wanita rekan kerja?
    menyusu = …?
    ga ngerti.

  5. abu fadl said

    Hahhh ???
    Betulkah fatwa ini ? Logika dalam derivasi fikih-nya kacau sekali ?

  6. purnama said

    assalammu’alaikum kang “info syiah”
    walah walah, emang fatwanya eneh gitu..
    cabut cabut…

  7. kaveleri said

    Beberapa anggota majelis menyatakan bahwa fatwa al-Azhar penyebab meluasnya kejahatan dalam masyarakat dan mengumumkan bahwa fatwa semacam ini bertentangan dengan Ijma ulama Islam, dan harus dicabut kembali.[infosyiah]

  8. kaveleri said

    Pertama. Si laki-laki yang akan menyusu tentu dia akan melihat aurat si perempuan. Ini haram. Kedua, ketika dia menyusu, tentu akan bersentuhan dengan kulit si perempuan. Ini haram lagi. Bagaimana mungkin suatu hukum/fatwa ditegakkan di atas kebatilan seperti ini?

    Jadi, satu kali pun si laki-laki tidak bisa secara syariat menyusu ke si perempuan. Apa lagi lima kali?

    Ini fatwa yang menyesatkan, memelintir agama sesuai dengan kemauan sendiri, dengan tujuan merusak agama Islam.

    Tidak bisa mencari kehalalan dengan berbuat yang haram.

    Yang kedua, setelah menjadi muhrim si laki-laki dan si perempuan bisa menikah. Jelas salah kaprah memang ini fatwa.

    Afwan, EMOSI MODE = ON

  9. almuhandis said

    Keterlaluan…
    Ingatlah.. ketika manusia dipertanggungjawabkan di hari akhir..
    mana dasarnya..? Ada Haditsnya ga?

  10. Thamrin said

    Apa sesudah menyusu lima atau sepuluh kali langsung bisa akad nikah?

  11. Edi Puspa said

    KALAU BEGITU KITA COBA SAJA. KITA EMUT (SUSUI) ISTERI ATO ANAK GADIS YANG BIKIN FATWA ITU… GIMANA PARA BLOGGER??????

  12. Vendra said

    Wah… kejutan apa lagi ni… emang enak sih. logika fiqh yang seperti apa yang digunakan ya? or qiyas semata yang jadi andalannya? hati-hati lho, maksud hati menjawab permasalahan, eeh.. jadinya koq + bermasalah.

  13. Suluh said

    weh weh weh… ayo buat ikhwan di blogger aja … 😀

  14. neri said

    fatwa gila, hapus saja! Mana dasarnya??? Kenapa skr jd banyak fatwa berdasarkan hadist2 yang justru utk mengakomodir/mengikuti hawa nafsu manusia yang ga ada batasnya?

  15. bisa jadi ide, nih!

  16. Luthfi said

    edyannnn

  17. Heri Setiawan said

    FATWA ndak bener… Penggal aja tuh yang ngeluarin fatwa busuk maca ini…

  18. neri said

    klo’ blh tau, sumber berita ini dari mana???? 🙂

  19. whuahahaha…fatwa yang bagus! cocoknya postingan ini dimasukin ke dalam kategori humor dewasa. Serius nih! 🙂

  20. shoenoe said

    Fatwa nu Gelo ! Sangeunahna !

  21. xatryajedi said

    Jelas sekali bahwa artikel ini dibuat oleh orang yang ingin menjelek-jelekkan dan memecah belah Islam. Mungkin Zionis. Sekalian aja lo bikin situs bokep gratisan, bangsat !
    Tak mungkin Imam Ali ra, kedua cucu Rasulullah SAW, dan Imam 12 berpendapat demikian. Dari buku-bukunya pun tak ada referesni bahwa Imam Khomayni berpendapat demikian.
    Para Imam tersebut adalah orang-orang suci yang dicintai Allah, mereka sibuk bermesraan dengan Allah Yang Maha Jamyl.
    Mereka tidak membutuhkan WIL di tempat kerja.

  22. Fatwa di atas bukan tanpa dalil. Ada hadis yang bunyinya kurang lebih begini.
    Seorang wanita bernama Shala datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, saya punya anak asuh namanya Salim. Dia keluar masuk rumahku dan saya bukan muhrimnya, kadang-kadang saya sendirian di rumah. Kemudian Nabi menjawab : “Susuilah dia !”. Shala berkata: Ya Rasulullah, orang itu sudah berjanggut (maksudnya sudah dewasa), bagaimana saya bisa menyusuinya ? Nabi berkata : Kamu susui saja dia !.
    Hadis ini ada dalam Sahih Muslim. Saya membacanya dalam buku “Sunnah-Syi’ah dalam Dialog” Yayasan ats-Tsaqolain Solo.
    Bagi yang punya Sahih Muslim tolong dicek lagi benar-tidaknya keberadaan hadis tersebut.

  23. sc said

    fatwa sesat

  24. rizko said

    Aku cma bisa bilang “GILA” … gmana kalo yang cewek yang nyusuin laki2 yang seruangan itu adik kamu, ibu kamu, istri kamu, anak kamu, keluarga kamu. Apa kamu rela ada laki2 yang gak kamu kenal menyusu (memegang payudara sambil mngemutnya) kepada orang2 yang kamu sayangi itu. Masya Allah, kemana otak yang katanya selalu di pake tuk berpikir ???

  25. sc said

    fatwa sesat..

  26. hafiz said

    ….wow.

  27. telmark said

    kalo istri seseorang menyusui 5 orang lelaki sebanyak masing2 5 kali. semua itu muhrimnya juga ???????

  28. THOHIR said

    Ndesooo ndesooo kembali ke ….
    itulah enaknya jadi sunny
    Empat Shikat Lima Sampurna
    Sayembara….
    Barang siapa bisa mengungkapkan
    masalah susu menyusui di hadits Sunny..
    akan dapat…..
    rekan sekerja…

  29. doyaru said

    Kapan Terjadinya Penyusuan

    Ulama berbeda pendapat dalam masalah pada usia berapa penyusuan seorang anak menjadikan terjalinnya hubungan mahram antara si anak dengan wanita yang menyusuinya. Sebagian ulama berpendapat penyusuan itu seluruhnya membuat terjalinnya hubungan mahram, sama saja apakah terjadinya ketika anak masih kecil ataupun sudah besar, dengan dalil hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tentang kisah Sahlah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyusui Salim maula Abu Hudzaifah, maka Sahlah berkata: “Bagaimana aku menyusuinya sementara dia sudah besar?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum dan berkata:

    (( قَدْ عَلِمْتُ أَنَّهُ رَجُلٌ كَبِيْرٌ))

    “Aku tahu Salim itu sudah besar.” (HR. Muslim no. 1453)
    Mereka juga berdalil dengan keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    ….وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

    “(Diharamkan bagi kalian menikahi)……ibu-ibu kalian yang menyusui kalian (ibu susu).” (An-Nisa: 23)

    Adapun jumhur ulama dari kalangan shahabat, tabi‘in, dan ulama berbagai negeri1 berpendapat; penyusuan yang dapat menjalin hubungan mahram adalah saat anak berusia di bawah dua tahun. (Syarah Shahih Muslim, 10/30).

    Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu menyatakan bahwa mayoritas para imam berpendapat penyusuan tidaklah menjadikan hubungan mahram kecuali bila penyusuan itu terjadi saat si anak berusia di bawah dua tahun. Adapun di atas itu maka tidak menjadikan hubungan mahram antara dia dan wanita yang menyusuinya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/290, 481)

    Demikian pendapat ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas‘ud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu ‘Umar, Ummu Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha dan jumhur ulama. Dan ini merupakan madzhab Al-Imam Asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik dalam satu riwayat. Pendapat Al-Imam Malik yang lain adalah dua tahun dua bulan atau tiga bulan. Abu Hanifah berpendapat dua tahun enam bulan. Zufar ibnul Hudzail berpendapat selama anak itu masih menyusu sampai ia berusia tiga tahun.

    Al-Imam Malik rahimahullahu berkata: “Seandainya seorang anak telah disapih sebelum usia dua tahun, lalu ada seorang wanita yang menyusui anak tersebut setelah penyapihannya maka tidaklah penyusuan ini menjadikan hubungan mahram karena air susu tadi kedudukannya sudah sama dengan makanan yang lain.”

    ‘Umar ibnul Khaththab dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma pernah berkata: “Penyusuan yang terjadi setelah anak disapih tidaklah menjadikan hubungan mahram.” Mungkin keduanya memaksudkan usia dua tahun seperti pendapat jumhur ulama, sama saja apakah anak itu telah disapih ataupun belum disapih. Namun mungkin juga yang mereka maksudkan seperti ucapannya Imam Malik di atas, wallahu a`lam. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291, Aunul Ma’bud, 6/43)

    Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu menyatakan bahwa yang diamalkan oleh mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka adalah penyusuan itu tidak menjadikan hubungan mahram kecuali bila anak susu itu berusia di bawah dua tahun. Adapun penyusuan yang terjadi setelah seorang anak berusia dua tahun penuh tidaklah menjadikan hubungan mahram. (Sunan At-Tirmidzi, 2/311)
    Pendapat yang kedua ini berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

    “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan”.

    Sebagaimana pendapat ini bersandar dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, di sisi ‘Aisyah ada seorang lelaki yang sedang duduk. Beliau tidak suka melihat hal itu dan terlihat kemarahan di wajah beliau. ‘Aisyah pun berkata: “Wahai Rasulullah! Dia saudara laki-lakiku sepersusuan.” Rasulullah menanggapinya dengan menyatakan:

    ((اُنْظُرْنَ إِخْوَتَكُنَّ مِنَ الرَّضَاعَةِ . فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ))

    “Perhatikanlah saudara-saudara laki-laki kalian sepersusuan. Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.2” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)

    Dalam hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memastikan perkara menyusui ini, apakah penyusuan itu benar adanya dengan terpenuhi syaratnya yaitu terjadi di masa menyusu dan memenuhi kadar penyusuan. Abu ‘Ubaid berkata: “Makna hadits ini adalah anak itu bila lapar maka air susu ibu adalah makanan yang mengenyangkannya bukan makanan yang lain.”

    Adapun anak yang sudah makan dan minum maka penyusuannya bukanlah untuk menutupi laparnya karena pada makanan dan minuman yang lain bisa memenuhi perutnya, berbeda dengan anak kecil yang belum makan makanan. (Fathul Bari, 9/179, Subulus Salam, 3/333, Nailul Authar, 6/368)

    Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullahu berkata dalam Al-Ma‘alim: “Penyusuan yang menyebabkan terjalinnya hubungan mahram adalah ketika anak susu itu masih kecil sehingga air susu itu dapat menguatkannya dan menutupi rasa laparnya. Adapun penyusuan yang terjadi setelah ini, dalam keadaan air susu tidak dapat lagi menutupi rasa laparnya dan tidak dapat mengenyangkannya kecuali dengan memakan roti dan daging atau yang semakna dengan keduanya, maka tidaklah menyebabkan hubungan mahram.” (Aunul Ma‘bud, 6/43)

    Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Penyusuan yang ditetapkan kemahraman dengannya dan dibolehkan khalwat karenanya adalah ketika anak yang disusui masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya karena perutnya masih lemah cukup terisi dengan susu dan dengan air susu ini tumbuhlah dagingnya. Dengan demikian ini jadilah si anak susu seperti bagian dari ibu susunya sehingga ia menyertai anak-anak ibu susu dalam hubungan mahram. Dalam hadits ini3 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seolah-olah mengatakan: “Tidak ada penyusuan yang teranggap kecuali yang bisa mencukupi dari rasa lapar atau memberi makanan dari rasa lapar.” (Fathul Bari, 9/179)

    Jumhur ulama juga berdalil dengan hadits Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 1162):

    ((لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَ كَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ ))

    “Suatu penyusuan tidaklah mengharamkan (terjadinya pernikahan) kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al-Irwa no. hadits 2150)

    Adapun kisah Sahlah dengan Salim yang menjadi dalil bagi pendapat pertama maka hal itu merupakan pengecualian bagi orang yang keadaannya seperti Sahlah dan Salim.4

    Kadar Penyusuan

    Ahli ilmu pun berbeda pendapat dalam masalah kadar penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram.

    • Pendapat pertama: Penyusuan sedikit ataupun banyak itu terjadi akan menyebabkan terjalinnya kemahraman dengan syarat air susu tersebut sampai ke dalam perut. Demikian pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf. Dihikayatkan pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, ‘Atha, Thawus, Ibnul Musayyab, ‘Urwah ibnuz Zubair, Al-Hasan, Mak-hul, Az-Zuhri, Qatadah, Al-Hakam, Hammad, Malik, Al-Auza‘i, Ats-Tsauri dan Abu Hanifah. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

    وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ …

    “Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (An-Nisa: 23)

    Dalam ayat ini tidak disebutkan jumlah penyusuan yang menyebabkan anak susu haram menikahi ibu susunya.
    Demikian pula hadits:

    فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

    “Karena penyusuan yang teranggap adalah ketika air susu mencukupi dari rasa lapar.” (HR. Al-Bukhari no. 5102 dan Muslim no. 1455)
    tidak disebutkan berapa kali terjadi penyusuan.

    • Pendapat kedua: Minimal tiga kali penyusuan, sebagaimana pendapat yang lain dari Al-Imam Ahmad, pendapat ahlu dzahir kecuali Ibnu Hazm, pendapat Sulaiman bin Yasar, Sa’id bin Jubair, Ishaq, Abu Tsaur, Abu ‘Ubaid, Ibnul Mundzir dan Abu Sulaiman, berdalil dengan apa yang dipahami dari hadits:

    لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

    “Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)

    Ummul Fadhl radhiallahu ‘anha menceritakan: Datang seorang A‘rabi (Arab badui) menemui Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu beliau berada di rumahku. Badui itu berkata: “Wahai Nabiyullah, aku dulunya punya seorang istri, kemudian aku menikah lagi. Maka istri pertamaku mengaku telah menyusui istriku yang baru dengan satu atau dua isapan.” Mendengar hal tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

    لا تُحَرِّم الإِمْلاجَةُ وَ الإملاجتَانِ

    “Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1451)

    • Pendapat ketiga: Hukum yang diakibatkan penyusuan tidak bisa ditetapkan bila kurang dari lima susuan, berdalil dengan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menyebutkan di-mansukh-kannya (dihapus) hukum penyusuan yang sepuluh menjadi lima.

    كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

    “Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
    Pendapat ini dipegangi oleh Ibnu Mas‘ud, Abdullah bin Az-Zubair, Asy-Syafi‘i dan satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
    (Lihat Al-Umm, 5/26-27, Fathul Bari, Syarah Shahih Muslim, 10/29, Tafsir Ibnu Katsir,1/480-481, Subulus Salam, 3/331-332, Nailul Authar, 6/363)

    Dari ketiga pendapat di atas, wallahu a‘lam, yang kuat adalah pendapat ketiga. Adapun ayat yang umum dalam permasalahan ini:

    وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

    “Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”
    dan dalil-dalil umum lainnya, dikhususkan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

    “Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.”
    dan dikhususkan dengan hadits ‘Aisyah:

    كاَنَ فِيْمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرَ رَضْعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحْرِمْنَ ثُمَّ نُسِخَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ

    “Dulunya Al Qur’an turun menyebutkan sepuluh kali penyusuan yang dimaklumi dapat mengharamkan kemudian dihapus ketentuan tersebut dengan lima kali penyusuan.”
    Namun pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    لاَ تُحَرِّمُ الْمَصَّةُ وَ الْمَصَّتَانِ

    “Tidak mengharamkan (karena susuan) satu isapan dan dua isapan.” (HR. Muslim no. 1450)
    tidak secara jelas menunjukkan tiga dan empat kali penyusuan dapat menyebabkan keharaman, sehingga yang tersisa adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menyebutkan lima kali susuan, wallahu ta‘ala a‘lam.

    Al-Imam Asy-Syafi‘I rahimahullahu berkata: “Penyusuan tidaklah menyebabkan keharaman kecuali lima kali susuan yang terpisah.” (Al-Umm, 5/26). Demikian pula yang dikatakan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (10/9).

    Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu dalam Al-Mughni (7/535) juga memberikan pernyataan yang hampir sama ketika menjelaskan ucapan Abul Qasim Al-Khiraqi: “Penyusuan yang tidak diragukan dapat menyebabkan pengharaman (seperti apa yang haram karena nasab –pent.) adalah lima kali penyusuan atau lebih.”

    Dan bentuk satu kali penyusuan tersebut adalah seorang bayi menghisap air susu dari puting seorang wanita sampai puas/kenyang lalu ia melepaskan puting tersebut, sekalipun dalam waktu menyusu itu ia berhenti sejenak dari menghisap puting untuk bermain-main atau menghirup napas, maka tetap terhitung satu kali penyusuan (Al-Umm, 5/27). Sama saja menurut pendapat jumhur ulama, baik air susu itu dihisap langsung oleh si bayi dari kedua payudara ibu susunya atau telah diperas sehingga si bayi meminumnya dari gelas misalnya, sekalipun ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang membatasi hanya air susu yang dihisap langsung dari payudara dengan berpegang pada makna menyusu secara bahasa. Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat karena yang penting air susu itu dapat menutupi rasa lapar dan mengisi usus, bagaimana pun cara si bayi meminum air susu tersebut. (Lihat Fathul Bari, 9/148, Al-Muhalla, 10/7)

    Ragu tentang jumlah penyusuan

    Apabila seseorang ragu tentang jumlah penyusuan, apakah telah sempurna lima kali penyusuan sehingga menjadi haram seperti yang haram karena hubungan nasab ataukah belum, maka kata Ibnu Qudamah rahimahullahu: “Tidaklah ditetapkan keharaman tersebut karena dikembalikan kepada hukum asal.5 Sementara keraguan tidaklah dapat menghilangkan keyakinan sebagaimana bila seseorang ragu telah jatuh talak (cerai) atau tidak maka kembali pada hukum asal tidak ada talak.” (Al-Mughni, 7/537)

    Susu hewan

    Apabila seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang bukan mahram minum dari susu seekor kambing (yang sama), sapi ataupun unta maka tidaklah hal ini teranggap sebagai satu penyusuan, kata Al-Imam Asy-Syafi‘i rahimahullahu. Namun hal ini hanyalah seperti makanan dan minuman biasa, dan tidak terjalin hubungan mahram antara kedua anak tersebut, karena yang demikian hanya berlaku untuk air susu manusia bukan air susu hewan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

    وَأُمَّهَاتُكُمُ اللآتِيْ أَرْضَعْنَكُمْ

    “Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…”

    وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعُنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَة

    “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
    (Al-Umm, 5/26)

    Footnote:

    1. Kecuali Abu Hanifah yang berpendapat dua tahun enam bulan, Zufar yang berpendapat tiga tahun dan Al-Imam Malik dalam satu riwayat berpendapat dua tahun ditambah beberapa hari. (Syarah Shahih Muslim, 10/30)

    2. Penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram dan menghalalkan khalwat adalah ketika anak yang disusui itu masih kecil sehingga air susu dapat menutupi rasa laparnya.

    3. Yaitu hadits: فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ

    4. Insya Allah akan dijelaskan.

    5. Hukum asalnya tidak ditetapkan keharaman seperti yang diharamkan dalam hubungan nasab, yakni tidak haram untuk menjalin pernikahan. Dan juga tidak halal apa yang halal karena hubungan nasab seperti tidak halal berkhalwat, dst

    Menyusui anak yang sudah besar/dewasa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi As-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuhkembangkan tubuh.

    Dengan demikian tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar. Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Maka ia pun minta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda:

    أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عَلَيْهِ “Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).” Lalu bagaimana menjawab hal ini? Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/tidak berlaku lagi). Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus.

    Pendapat inilah yang benar, akan tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah. Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu.

    Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu. Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini.

    Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut. Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya1). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

    إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسآءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

    “Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram).” Mereka menjawab: “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar ?” Beliau menjawab: “Ipar adalah kematian.” Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah akan mengatakan: “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu. Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.

  30. muhammad ihsan tawakkal said

    KALAU BEGITU KITA COBA SAJA. KITA EMUT (SUSUI) ISTERI ATO ANAK GADIS YANG BIKIN FATWA ITU… GIMANA PARA BLOGGER??????

    Komentar oleh Edi Puspa | setuju….setuju…setuju….ha..ha..ha

  31. Aneh, aneh, aneh. saya nggak habis pikir kenapa ada fatwa seperti ini. 😕

    kavaleri tepat sekali, itu sama saja bertabrakan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Aneh sekali.

    aduh, ini mancing orang berpikir ngeres, banget.
    menyusu! haduh….

    kacau…. kacau.. kacau… kacau… kacau… 😆

  32. delta said

    Secara logika, cowok mana yang ga mau disusuin ma cewek!!
    Enak donk apa lagi ma gadis!!!
    So kalo dah gitu, di mana fungsi agama kita…
    Fatwa edan, nyentuh aja ga boleh apa lagi nyusu!!!!!!

  33. coba lihat republika di bawah ini :

    http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=256474&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=417

    di situ disebutkan bahwa orang yang sudah menyusu 5 kali kepada seseorang yang lain tidak boleh mengawininya. (misalnya ibu asuh, ibu tiri) Tapi mengapa fatwa ini malah menjadikannya muhrim? (lebih tepatnya : mahram).

  34. “di situ disebutkan bahwa orang yang sudah menyusu 5 kali kepada seseorang yang lain tidak boleh mengawininya. (misalnya ibu asuh, ibu tiri) Tapi mengapa fatwa ini malah menjadikannya muhrim? (lebih tepatnya : mahram)”

    bukannya malah lumayan cocok,, salah satu definisi muhrim = haram nikah kan??

    mungkin bedanya, yang satu maksudnya dijadiin keluarga, yang satu lagi dijadiin suami/istri,,

    tapi Ma bingung juga nih,, Mas/mbak Infosyiah,, help,, penjelasannya,,??

  35. orido said

    emang fatwa gila..
    mungkin yg ngluarin fatwa ini cuma ngambil sepenggal2 dari aturan islam .. alias gak menyeluruh..

    good point kavaleri..

  36. abu fadl said

    @Kian Santang

    Saya check di Shahih Muslim, memang betul ada hadis tsb. Di Bab Nikah hadis no. 3424 s/d 3428. Jelas sekali hadis-hadis ini bertentangan dengan akhlak/moralitas yang dianjurkan dalam Al-Quran.

    Saya copypaste-kan dua hadis:

    Book 8. Marriage.
    Hadith 3424. (Shahi Muslim)
    ‘Aisha (Allah be pleased with her) reported that Sahla bint Suhail came to Allah’s Apostle (may peace be upon him)
    and said: Messenger of Allah, I see on the face of Abu Hudhaifa (signs of disgust) on entering of SALIM (who is an
    ally) into (our house), whereupon Allah’s Apostle (may peace be upon him) said: Suckle him. She said: How can I
    suckle him as he is a grown-up man? Allah’s Messenger (may peace be upon him) smiled and said: I already know
    that he is a young man ‘Amr has made this addition in his narration that he participated in the Battle of Badr and in
    the narration of Ibn ‘Umar (the words are): Allah’s Messenger (may peace be upon him) laughed.

    Book 8. Marriage.
    Hadith 3425. (Shahi Muslim)
    ‘Aisha (Allah be pleased with her) reported that SALIM, the freed slave of Abu Hadhaifa, lived with him and his
    family in their house. She (i.e. the daughter of Suhail came to Allah’s Apostle (may peace be upon him) and said:
    SALIM has attained (puberty) as men attain, and he understands what they understand, and he enters our house
    freely, I, however, perceive that something (rankles) in the heart of Abu Hudhaifa, whereupon Allah’s Apostle (may
    peace be upon him) said to her: Suckle him and you would become unlawful for him, and (the rankling) which Abu
    Hudhaifa feels in his heart will disappear. She returned and said: So I suckled him, and what (was there) in the heart of Abu Hudhaifa disappeared.

  37. sekarang kita baru sadar..
    ternyata para setan juga sudah jadi blogger..
    dasar fatwa gila..

  38. dz. said

    @ abu fadhl & kian santang:
    itu artinya, bahkan kitab SHAHIH pun ada muatan ngga shahih-nya, ya? (atau malah bukan cuma “ada”, tapi “banyak”?)

    @ infosyiah:
    ini nampilin syiah sambil secara ngga langsung nyeburin sunni, ya? oops, maaf udah berburuk sangka (suuzh-zhon).

    *question everything*

  39. Wah kacau…ada-ada saja nih…

  40. dedi said

    fatwa eduan tuh….

  41. rayyan said

    Fatwa edun, bagi wong edun

  42. cinta rasul said

    sabar dan tetap tenang dan berhati-hatilah dalam hal2 seperti itu.sikapi dng arif karna jika tidak kita bisa terjebak didalamnya.menurutku fatwa itu gak masuk akal n sangat memalukan.

  43. har said

    itu beritanya valid gak?

  44. Fatwa yang aneh…

    Coba bayangkah, saya berusia 24 tahun menyusu kepada seorang wanita (rekan sekantor) yang berusia sebaya (ya paling lebih beberapa tahun lah)… Lalu menjadikan saya dan wanita tersebut menjadi mahram…?

    Itu menyusu atau berzina ya..?

    Ini mah bisa2nya orang yang sesat lagi menyesatkan aja!!!

    Sesuatu yang baik dan benar (hadits) digunakan untuk sesuatu yang tidak benar.

    Berfatwa itu ada syarat2 dan pertimbangannya. Haditsnya mungkin tidak perlu di selidik lagi, tapi kayaknya yang memberi fatwa perlu diselidiki lagi deh kompetensinya.

Tinggalkan Balasan ke sinetron andergron Batalkan balasan